Minggu, 12 April 2009

Janger Kedaton---Seratus Tahun Mengabdi pada Seni

Janger Kedaton------------
Seratus Tahun Mengabdi pada Seni

''Titiang Meme Janger, kemu nunas taksu ke Pura Dalem Batu Bolong di Desa Canggu (Akulah Ibu Janger, datanglah kamu memohon taksu ke Pura Dalem Batu Bolong-red)''.

Peristiwa kerauhan (trance) yang dialami I Gusti Ketut Sangging -- salah seorang warga Banjar Kedaton, Desa Pakraman Sumerta -- di areal persawahan Sungiang dan Badak di tahun 1906 itulah yang jadi tonggak kelahiran kesenian Janger di Kedaton. Setelah pawisik itu turun, krama Kedaton yang saat itu menggantungkan sumber penghidupannya dari aktivitas bertani dan menggembalakan sapi sontak keranjingan menyanyi. Aktivitas menyanyi itu dilakukan bersama-sama oleh para pengusung budaya agraris tersebut di sela-sela kesibukan menggarap lahan pertanian mereka.

==========================================================

Semula, aktivitas bernyanyi bersama itu terbatas dilakukan di sawah. Di bawah keteduhan pepohonan sambil menghalau burung pemakan biji padi. Namun, aktivitas bernyanyi bersama itu akhirnya "merambah" hingga ke rumah-rumah warga. Mengingat kegairahan menyanyi bersama itu terus membuncah, para petani dan penggembala ternak itu pun sepakat "memformalitaskan" kegiatan mereka dengan membentuk sebuah sekaa Janger dengan pusat kegiatan di jeroan Kedaton, tepatnya di rumah I Gusti Ketut Raweg. Dari generasi ke generasi, kesenian Janger ini tetap tumbuh dan berkembang hingga kini. Tanpa berkesudahan seolah ditakdirkan jadi maskotnya Banjar Kedaton.

"Bagi krama Kedaton, Janger sudah menjadi kesenian yang tak tergantikan. Betapa pun derasnya gempuran berjenis-jenis kesenian kontemporer-modern menerjang Bali, kesenian Janger tetap harus dilestrarikan dengan penuh kesadaran. Ini warisan adiluhung leluhur yang tak boleh sampai punah," kata I Ketut Cemeng, S.ST., mantan pragina Janger Kedaton, kepada Bali Post, Jumat (6/10) kemarin.

Kekukuhan krama Banjar Kedaton melestarikan Janger memang tidak terbantahkan. Saat ini kesenian yang memadukan kepiawaian berolah vokal, gerak tubuh dan tabuh ini sudah menebar pesonanya selama seratus tahun di Kedaton. Memasuki usianya yang satu abad itu, krama Kedaton pun sepakat menggelar "pesta" istimewa berupa pementasan "Janger Tiga Generasi" di Stage Janger Kedaton, Minggu (1/10) lalu.

Sebuah pementasan yang sangat unik, mengingat pragina Janger-nya terdiri atas kaum anak-anak, remaja, dewasa hingga nenek-nenek berusia renta. "Bisa melestarikan Janger hingga hitungan satu abad adalah sebuah kebanggaan bagi krama di sini. Kami bertekad melestarikan Janger sampai kapan pun," tegas praktisi seni yang kini mengabdi di UPTD Taman Budaya Bali ini.

Sangat Sederhana

Cemeng yang juga pragina Topeng Tua ini menambahkan, pada awal terbentuknya Janger Kedaton sangat sederhana. Baik dari segi materi, gaya dan penampilan maupun kostumnya. Saat itu, seluruh penarinya laki-laki dengan formasi tarian membentuk lingkaran. Satu di antara mereka berperan sebagai Dag, mengambil posisi di tengah lingkaran dan bertugas sebagai pengatur pertunjukan.

Lagunya berupa lagu-lagu Sanghyang dengan gerak tari sederhana. Instrumen musik yang mengiringi Janger pun relatif sederhana, hanya terdiri atas kempur, tawa-tawa, cengceng, kendang dan suling. "Pada awal terbentuknya, kostum Janger Kedaton juga sangat sederhana. Penari Janger mengenakan kamen (kain), sabuk (ikat pinggang) dan bunga. Sedangkan penari Kecak hanya mengenakan kain," katanya seraya menyebut nama sejumlah pragina Janger generasi pertama di antaranya Made Rona, I Gusti Ketut Logo dan I Gusti Rungkeng.

Kreativitas pragina Janger Kedaton tak kenal istilah stagnan. Sejumlah perubahan dilakukan agar pertunjukan Janger ini lebih memikat. Salah satunya, memasukkan penari perempuan sebagai penari Janger yang berpasangan dengan penari Kecak laki-laki. Masuknya unsur penari perempuan membuat kostum Janger pun harus disesuaikan. Selanjutnya, para penari Janger itu mengenakan kamen, sabuk, kebaya dan selendang yang menyilang di dada.

Sementara itu, penari Kecak mengenakan celana sebatas lutut, baju tanpa lengan, kaos kaki panjang dan bapang (hiasan leher). Bukan hanya kostum yang dipermak, lagu-lagu dan tetabuhannya juga disempurnakan. Sejumlah pelatih seni kondang seperti I Koncong dari Banjar Belaluan pun didatangkan untuk melatih tari, I Made Madeg dari Banjar Lebah sebagai pelatih tabuh dan I Wayan Mara sebagai penari Kecak dari Tegal Pemecutan. "Begitulah keseriusan para leluhur kami dalam menumbuhkembangkan Janger di Kedaton," katanya seraya memaparkan periodisasi perkembangan Janger Kedaton secara gamblang.

Dengan kemasan yang lebih "ngepop" ini, pesona Janger Kedaton makin memikat. Dia tidak hanya mampu "menjerat" hati krama Banjar Kedaton semata. Namun, pesonanya juga membius para penikmat seni di banjar-banjar tetangga. Permintaan untuk pentas pun datang silih berganti dari luar Banjar Kedaton di antaranya dari Peguyangan, Batan Buah dan daerah lainnya. Mencuatnya popularitas Janger Kedaton ini mengilhami para penggiatnya untuk melengkapi pementasan Janger dengan lakon sehingga kesenian ini pun tampil sebagai seni pertunjukan yang komplit.

"Lakon pertama yang ditampilkan adalah Arjuna Tapa. Hingga kini pun, lakon itu masih sering ditampilkan dengan sejumlah pengembangan. Umumnya, lakon yang diangkat diadaptasi dari epos wiracerita Mahabharata dan Ramayana," katanya dan menambahkan, durasi pementasan Janger dengan lakon itu mencapai 2-3 jam.

Menebar Pesona

Tahun berganti tahun, popularitas Janger Kedaton tak pernah surut. Bahkan, makin kuat menebar pesona dan berkembang pesat. Melihat realita ini, sejak 1915 kesenian ini pun diorganisasi dan dikelola pihak Banjar Kedaton dengan membentuk kepengurusan Janger. Dengan konsep ini, upaya pengembangan sekaligus pelestarian Janger pun makin terarah dan mantap. Guna meningkatkan kualitas Janger, pada 1920 didatangkan pelatih kondang Nyarikan Sariada sebagai pelatih tari dan I Nyoman Kaler sebagai pelatih tabuh.

Seiring dengan popularitas yang terus menanjak itu, krama Kedaton pun ingin mewujudkan pawisik dengan memohon tirta (air suci-red) ke Pura Dalem Batu Bolong di Desa Canggu. Tanpa kenal lelah, leluhur krama Kedaton menempuh perjalanan selama tiga hari dengan berjalan kaki.

"Salah satu pementasan penting yang jadi kenangan abadi bagi krama Kedaton adalah saat leluhur kami diundang majangeran oleh Gubernur Jendral Batavia di Pasar Gambir, Batavia (sekarang Jakarta-red) pada 28 Agustus 1929 silam. Atas partisipasinya itu, Janger Kedaton menerima piagam penghargaan Diploma Eerst Prijs dari pemerintah Batavia," katanya dan menambahkan, sekaa Janger Kedaton kala itu diperkuat 30 orang seniman meliputi penari Janger dan Kecak, penabuh, juru rias, pembina dan pengurus.

Tak bisa dimungkiri, kesenian Janger telah meletupkan rasa bangga bagi segenap komponen krama Banjar Kedaton. Tokoh muda Banjar Kedaton I Made Ariawan Payuse yang dipercaya sebagai Ketua Panitia Peringatan 100 Tahun Janger Kedaton menegaskan bahwa generasi muda Kedaton sudah bertekad bulat melestarikan kesenian ini untuk selanjutnya diwariskan pada generasi berikutnya.

"Ibarat sudah mendarah-daging, kesenian Janger tidak boleh punah dari Kedaton. Dia harus tetap ajeg lestari. Dalam menekuni pengabdiannya pada dunia seni, para pendahulu kami juga berhasil meraih berbagai jenis penghargaan lainnya seperti piagam juara I Parade Janger se-Bali, piagam Kerti Budaya, piagam Dharma Kusuma dan sebagainya," katanya dengan nada bangga.

* w. sumatika
www.balipost.co.id